Senin, 01 Juli 2013

“MODERN” MODE ON

Gaya Hidup materialism yang berkedok label “modern” telah menjadi kebanggaan hampir semua orang yang hidup dijaman ini. Mereka bangga disebut sebagai manusia modern dan rela mengerahkan segala upayanya untuk dapat diterima dalam lingkungan yang masyarakatnya diklaim sebagai masyarakat modern. Salah satu yang khas dalam masyarakat ini adalah segala sesuatu dinilai berdasarkan materi yang bersifat kuantitatif, mulai dari status sosial atau kehormatan seseorang diukur berdasarkan harta kekayaannya, kebahagiaan sebuah keluarga yang diukur dari seberapa besar penghasilannya dalam sebulan, bahkan sampai kepada tingkat keimanan seseorang dalam agama yang diukur berdasarkan seberapa besar sedaqoh yang dikeluarkannya atau seberapa banyak sumbangan yang dikeluarkannya untuk membangun tempat ibadah.

Warisan luhur dari nilai-nilai agama dan budaya yang positif, seperti spritualisme, kejujuran, amanah, kebersamaan serta nilai-nilai etis lainnya, telah pupus oleh perilaku hedonism, pragmatism, individualism dan isme-isme yang terlahir dari rahim materialism.

“Hukum Tuhan” yang disampaikan melalui lisan para Nabi dan orang-orang suci yang mengajarkan keselamatan, keadilan, cinta dan kasih sayang, telah digantikan oleh “Hukum Pasar” dan “Seleksi Alam” yang mengajarkan penindasan, penjajahan dan anti kemanusiaan. Mereka menjadikan “hukum pasar” yang berpihak pada pemilik modal dan penguasa, sebagai tameng dan senjata untuk melegitimasi kekuasaan dan melegalkan penjajahan, dan pada saat yang sama mereka menjadikan “Seleksi Alam” sebagai pembenaran aksi mereka dalam melakukan penindasan dan kezaliman terhadap orang-orang yang lemah secara ekonomi dan kekuasaan.

Nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan hal yang bersifat fitrah dan universal, seolah telah dipaksa tunduk kepada hukum ini. Realitas sosial saat ini menunjukkan kepada kita bagaimana kejujuran, kebaikan, persahabatan bahkan cinta kasih, hanya menjadi sebuah konsep ideal yang bernilai relatif dan bukan lagi sebuah etika universal yang bersifat mutlak bagi manusia yang merupakan makhluk yang dipilih Tuhan sebagai khalifah di muka bumi. Konsep “untung-rugi” dan “simbiosis-mutualisme” menjadi landasan dari setiap perbuatan baik, mengantikan konsep ketulusan dan keihkhlasan.

Aktivitas seni tidak lagi menjadi sumber inspirasi keindahan dan kesejukan jiwa, melainkan telah menjadi media untuk aktivitas kaum hedonis yang cinta kesenangan dan maksiat. Porno-grafi dan porno-aksi dengan kedok nilai estetika, dianggap sebagai ekspresi seni sehingga dinilai layak dipublikasikan untuk dinikmati oleh masyarakat luas. Syair dan Sastra murahan yang berbau mesum, tumbuh subur bahkan diagungkan karena dianggap wacana yang lahir dari kedewasaan manusia modern.

Arti dan makna kemerdekaan telah diplintir menjadi “kebebasan mutlak” dengan dibumbui retorika “hak asasi manusia” yang penuh ambigu, melahirkan paradigm bahwa setiap orang memiliki hak untuk melakukan apa saja selama tidak mengganggu kepentingan orang lain. Dampaknya bagi kehidupan sosial kemasyarakatan mulai terasa ketika perselingkuhan, perzinahan dan kegiatan maksiat lainnya--selama tidak mengganggu kepentingan orang lain--dianggap sebagai kebebasan individu yang harus dihormati dan dibenarkan secara hukum. Lebih jauh lagi, di beberapa Negara, prostitusi mulai diterima sebagai salah satu badan usaha yang bergerak disektor jasa sehingga dalam prakteknya-prostitusi-dianggap sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Seiiring dengan itu semua, ritual agama yang dulunya sakral dan penuh makna, kini hanya menjadi semacam seremonial temporal yang kering dari pemaknaan. Shalat atau Kebaktian dan ibadah-ibadah lainnya, dimaknai hanya sebatas hubungan sesaat antara seorang manusia dengan Tuhan dalam suasana khidmat. Pemisahan atau dikotomi antara urusan agama yang berbau akhirat dengan urusan kehidupan yang berbau duniawi menjadi semakin tajam. Bahkan keduanya--Dunia dan Akhirat--dianggap sebagai dua hal yang bertentangan sehingga tidak boleh dicampur adukkan. Sebut saja slogan “jangan bawa urusan agama dalam urusan politik”, ini merupakan salah satu contoh doktrin dikotomi atau pemisahan antara urusan agama dan kehidupan dunia yang berdampak pada pembenaran dan pemakluman terhadap kepicikan aktivitas politik.

Minggu, 30 Juni 2013

BELAJAR DARI IBLIS

BELAJAR DARI IBLIS
(Perspektif Alquran & Alkitab)

Waktu itu usiaku masih sekitar 9 atau 10 tahun. Sebagai seorang anak yang dalam masa pertumbuhan berfikir mandiri, aku sangat sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin aneh dan “menjengkelkan” menurut sebagian besar orang dewasa di lingkunganku. Pernah suatu ketika aku bertanya kepada guru disekolah; jika manusia itu berbuat dosa karena dihasutoleh iblis, lalu siapakah yang meng-hasut iblis untuk menyesatkan manusia?!”.

Aku masih ingat bagaimana ekspresi wajah guruku yang seolah tidak siap menerima pertanyaan seperti itu. Setelah terdiam sejenak, dengan suara lembut, guruku kemudian menjawab dengan mengatakan bahwa “iblis itu tidak dihasut oleh siapan pun, karena iblis diciptakan Tuhan memang sebagai makhluk yang bertugas menghasut manusia”.

Jawaban guru ku saat itu sesaat membuatku puas, namun kembali membuatku bingung ketika beliau melanjutkan pelajaran dan mengatakan bahwa “iblis pasti akan dimasukkan kedalam neraka karena iblis telah membangkang kepada Tuhan dan menyesatkan umat manusia”. Rasanya ada sesuatu yang ganjil dalam pernyataan guruku itu, tapi waktu itu aku tidak bisa mengungkap dan mengekspresikan keganjilan yang kurasakan dengan kata-kata apalagi argumentasi. Jika saja saat ini aku punya mesin waktu untuk bisa kembali kemasa itu dan mengungkapkan kebingunganku, maka aku akan bertanya; “jika IBLIS diciptakan Tuhan memang sejatinya sebagai pembangkang dan untuk menyesatkan manusia, lalu bagaimana mungkin ia (iblis) harus dihukum di neraka ketika ia benar-benar membangkang dan menyesatkan manusia?!. Bukankah itu sudah menjadi tugasnya?!.”

Hidup dalam lingkungan keluarga yang beragama Islam awam dan pergaulan dengan kawan-kawan yang beragama Kristen, tentu membuatku mengenal sosok Iblis sebagaimana pengetahuan sebagian besar orang awam lainnya. Cerita yang monoton tentang sosok iblis yang terkutuk, sudah kami konsumsi sejak kecil. Bahkan istilah ‘Iblis’ itu sendiri sering malah menjadi bahan candaan bahkan tidak jarang menjadi kata-kata makian bagi orang-orang yang dianggap sesat dan menyesatkan. Intinya, sosok iblis di lingkungan kami,seolah telah menjadi personifikasi dari kejahatan dan keburukan.

Beberapa tahun kemudian setelah memendam dan melupakan sejenak kebingungan atas pernyataan guruku di sekolah, kegelisahan itu kembali mengganggu ketika aku menemukan sebuah buku yang berjudul “Iblis Menggugat Tuhan”, karya penulis bernama Da’ud Ibn Ibrahim Al Shawni. Buku itu tidak saja mengajukan pertanyaan serupa yang pernah aku ajukan, malah lebih dari itu, pertanyaan yang termuat dalam buku itu jauh lebih dahsyat dan memberiku gambaran yang benar-benar baru tentang sosok yang bernama Iblis. Kebingungan dan kegelisahan itu justeru membuatku semakin tertarik untuk menyelidiki tentang sosok Iblis yang selama ini menjadi ikon kejahatan dan musuh bagi orang-orang beragama.

Mungkin karena keterbatasan literatur dan wawasan, aku tidak menemukan suatu literatur yang lebih jelas dan kompeherensif tentang iblis melainkan dari sumber-sumber kitab suci dan risalah agama khususnya Islam dan Kristen sebagai dua agama besar yang dominan di lingkunganku. Secara historis, kedua ajaran agama ini sepengetahuanku memiliki akar ideology yang sama, sehingga aku pun memutuskan untuk memulai penelitian dengan membandingkan kisah Iblis dari kedua kitab suci tersebut.

Pada awal penelitian, aku menemukan sosok iblis yang digambarkan dalam Al Quran dan Al kitab (Injil), memiliki banyak persamaan baik dari sisi identitas maupun dari sisi peranannya dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam kedua kitab suci tersebut, Iblis digambarkan sebagai makhluk yang diciptakan sebelum Tuhan menciptakan manusia. Awalnya Iblis adalah makhluk taat yang menyembah Tuhan bersama dengan Malaikat lainnya. Berikut Al Quran menceritakan kisah tentang Iblis:
“(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya’. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir....” (QS:Shaad ayat 71)

Satu hal yang menarik dalam ayat ini adalah ketika ayat ini mengisyaratkan bahwa Iblis awalnya adalah golongan malaikat. Hal ini tampak jelas ketika dalam premisnya terdapat pengecualian yakni pada kalimat “semua malaikat bersujud, KECUALI Iblis”. Jika semua malaikat bersujud dan ternyata Iblis adalah pengecualian dari keseluruhan malaikat (yang bersujud), maka tentu dapat disimpulkan secara logis bahwa iblis adalah termasuk dalam golongan malaikat. Lagi pula, jika iblis bukanlah golongan malaikat, maka tentu Tuhan tidak akan menyalahkannya ketika ia (iblis) tidak bersujud, toh karena yang diperintahkan bersujud adalah para malaikat. Memang ada pendapat yang menolak logika ini dengan mengatakan bahwa Iblis adalah golongan Jin. Terlepas dari itu (kalau pun Iblis adalah golongan Jin), hal itu tidak menggugurkan fakta bahwa iblis awalnya adalah makhluk yang taat dan menyembah Tuhan bersama para malaikat.

Sebagaimana Al Quran, aku menemukan bahwa AlKitab (Injil) pun mengemukakan hal yang hampir sama tentang identitas Iblis meskipun istilah ‘Iblis’ dalam Alkitab diperoleh melalui penafsiran dari beberapa istilah yang dianggap merupakan konotasi dari istilah ‘iblis’ tersebut. Dalam Alkitab, aku tidak menemukan kisah awal penciptaan Iblis sebagai sosok makhluk yang jahat. Alkitab menceritakan awal mula ‘kelahiran Iblis’ dari kisah kejatuhan malaikat dalam dosa. Intinya, sebagaimana Alquran, Alkitab pun menggambarkan sosok Iblis pada awalnya adalah Malaikat. Berikut satu ayat yang dianggap menggabarkan bagaimana asal usul hadirnya sosok Iblis:
“Kuberikan tempat mu dekat kerub yang berjaga, digunung kudus Allah engkau berada dan berjalan-jalan di tengah batu-batu yang bercahaya-cahaya. engkau tidak bercela didalam tingkah lakumu sejak hari penciptaanmu sampai terdapat kecurangan padamu.”  (Yehezkiel 28:14-15).

Subjek yang diceritakan oleh Tuhan dalam kitab Yehezkiel tersebut ditafsirkan adalah sosok malaikat yang memiliki kedudukan tertinggi diantara para malaikat di Kerajaan Surga (sebelum jatuh dalam dosa). Istilah ‘Kerub’  berasal dari bahasa Ibrani yang memiliki dua makna yaitu: pertama, bisa bermakna kedudukan yang sangat tinggi atau diurapi dalam Kerajaan Surga dan makna kedua, bisa berarti makhluk surgawi yang bersayap (sumber: Wikipedia). Dengan segala kemegahan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, malaikat itu pun kemudian membangkang kepada Tuhan. Dalam risalah Kristen barat, malaikat yang membangkang itu dikenal sebagai Lucifer (bahasa Yunani) yang dalam perkembangannya, namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Iblis atau yang sering disinonimkan dengan kata Satan/Setan.

Dari dua ayat dalam dua Kitab Suci tersebut, aku menemukan satu pelajaran penting yaitu bahwa Iblis pada awalnya adalah makhluk yang dekat dengan Tuhan dan merupakan sosok yang sangat taat dalam menyembah Tuhan bersama para malaikat lainnya. Dalam kedekatannya dengan Tuhan, tentu Iblis banyak mengetahui hal yang terkait dengan ‘rahasia langit’ melebihi manusia pada umumnya. Iblis tentu paham betul bahwa Tuhan itu Esa (monotheis), Tuhan itu Maha Pencipta, Maha Kuasa dan memiliki kesempurnaan sifat secara mutlak.

Pengetahuan iblis tersebut tentu sangatlah jelas dan terang benderang dibandingkan pengetahuan manusia pada umumnya, mengingat posisi dan kedudukan iblis yang digambarkan berada disurga dan menjalin komunikasi dengan Tuhan secara langsung serta menyaksikan banyak peristiwa di ‘alam hakikat’. Dengan Pengetahuan yang dimiliki iblis, tentu tidak mungkin mengatakan bahwa iblis tidak percaya kepada Tuhan atau memasukkan iblis dalam golongan yang mengingkari keberadaan dan kuasa Tuhan. Jika kata ‘Iman’ secara sederhana kita sinonimkan dengan ‘percaya’, maka Iblistentu termasuk dalam golongan mereka yang beriman.

Lebih jauh, ada beberapa bukti yang kemudian kutemukan -khususnya dalam Al Quran-bahwa Iblis mempercayai bahwa Tuhan itu adalah Maha Pencipta dan Maha Kuasa atas segala sesuatu, bahkan percaya pada Hari kiamat serta mengakui keutamaan para Nabi dan Imam. Berikut beberapa ayat yang membuktikan hal-hal tersebut:

Iblis percaya bahwa Tuhan itu adalah Maha Pencipta, tercermin pada pengakuan Iblis kepada Tuhan
“Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS:7:12).
Iblis pun percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan percaya kepada hari kiamat serta hari pengadilan, sebagaimana tersirat pada kata-kata Iblis ketika meminta ijin penangguhan kepada Tuhan
“beri tangguhlah aku sampai mereka dibangkitkan” (QS:7:14)
Iblis juga percaya dan mengakui keutamaan dan peranan para Nabi dan orang-orang suci (Imam), sebagaimana direkam dalam ayat:
“Demi kekuasaanMU, akan kusesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hambaMU yang ikhlas diantara mereka” (QS:38:81-82).

Bukti atas pengakuan dan kepercayaan Iblis kepada keberadaan dan kekuasaan Tuhan juga kutemukan dalam Alkitab melalui beberapa ayat:

Iblis/setan mengakui keberadaan Tuhan dalam Yesus Kristus:
“Dari banyak orang keluar juga setan-setan sambil berteriak: ‘Engkau adalah Anak Allah.’ Lalu Ia dengan keras melarang mereka dan tidak memperbolehkan mereka berbicara, karena mereka tahu bahwa Ia adalah Mesias” (Lukas 4: 41).
Iblis mengakui Kekuasaan Tuhan dalam Kristus:
“Bilamana roh-roh jahat melihat Dia, mereka jatuh tersungkur dihadapan-NYA dan berteriak: ‘Engkaulah Anak Allah” (Markus:3;11).

Ayat-ayat di atas memberiku pemahaman yang menarik, yaitu bahwa Iblis sesungguhnya bukanlah makhluk yang sesat karena mengingkari keberadaan dan kekuasaan Tuhan sebagaimana mereka yang dikenal sebagai atheist. Bahkan-menurutku-Iblis memiliki ideology monotheist yang percaya pada keesaan Tuhan atau ber-tauhid dalam terminology Islam. Iblis pun tidak sebuta dan sebodoh penyebah berhalayang menganggap dan memperlakukan Tuhan seperti benda mati atau hewan.

Lalu, bagaimana Iblis kemudian bisa menjadi sosok terkutuk karena telah membangkang  kepada Tuhan?
Jawaban atas pertanyaan di atas, kutemukan terdapat dalam teks Al Quran dan  Al Kitab, sebagaimana ayat yang telah kutemukan sebelumnya namun dengan teks yang lebih lengkap. Dalam Alquran, aku menemukan ayat yang menceritakan awal kejahatan iblis:
“(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya’. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.
Allah berfirman: ‘Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi’. Iblis berkata: ‘aku lebih baik daripadanya,karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah’. Allah berfirman: ‘Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang terkutuk, sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas mu sampai hari pembalasan” (QS: Shaad ayat 71-)

Sedangkan dalam Al kitab, terdapat ayat:
“Engkau tak bercela dalam tingkah laku mu sejak hari penciptaan mu sampai terdapat kecurangan padamu. Dengan daganganmu yang besar, engkau penuh dengan kekerasan dan engkau berbuat dosa. Maka Kubuang engkau dari gunung Allah dan kerub yang berjaga membinasakan engkau dari tengah batu-batu yang bercahaya. Engkau sombong karena kecantikanmu, hikmatmu kau musnahkan demi semarakmu. Ke bumi kau Kulempar, kepada raja-raja engkau kuserahkan menjadi tontonan bagi matanya” (Yehezkiel: 28:15-17).

Kisah Iblis pada ayat-ayat di atas, membuatku semakin mengerti bahwa pembangkangan yang dilakukan oleh Iblis sesungguhnya didasari oleh motif dan dorongan yang berasal dari dalam diri Iblis sendiri, bukan paksaan dari Tuhan. Dorongan itu adalah KESOMBONGAN dan atau mungkin pula keserakahan. Dengan sifat Tuhan yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa, tentu dorongan yang dimiliki Iblis itu tidaklah diluar kendali Tuhan, namun hal itu tidak mesti mengindikasikan bahwa Tuhan pula lah yang memaksa dorongan itu teraktual pada diri Iblis (meskipun tidak ada larangan bagi Tuhan untuk melakukannya). Lagi pula, disamping Maha Pencipta dan Maha Kuasa, Tuhan pun memiliki sifat Maha Adil dan Maha Bijaksana, sehingga sangatlah masuk akal jika Tuhan memberikan KEHENDAK BEBAS kepada makhluk (yang dikehendaki-NYA) sebagai konsekwensi dari janji-NYA tentang hari pembalasan.

Sampai disini, satu lagi pelajaran yang kuterima yakni bahwa Iblis tidaklah diciptakan-secara khusus-oleh Tuhan sebagai sosok pembangkang sebagaimana Tuhan menciptakan surga sebagai tempat khusus bagi mereka yang beriman dan beramal salih. Tuhan pun tidak memaksa Iblis untuk membangkang sebagai bagian dari rencana-NYA untuk keberlangsungan sejarah manusia. Tuhan memberikan pengetahuan serta kehendak bebas kepada Iblis untuk menentukan sikap dihadapan Tuhan dengan segala Ketetapan-NYA. Dengan pengetahuan dan kehendak bebas yang diberikan Tuhan kepada Iblis, tentu melahirkan konsekwensi bahwa Iblis harus mempertanggung-jawabkan pilihannya. Ketika ia (iblis) membangkang perintah Tuhan, maka ia harus menerima bahwa ia akan termasuk golongan yang sesat demikian pula sebaliknya.

Pada akhir penelitianku, aku menemukan satu pelajaran berharga yang jauh lebih penting dari kesimpulan-kesimpulan sebelumnya, yaitu bahwa pengetahuan dan keyakinan (percaya), belumlah cukup menjadikan seorang layak dikatakan beriman. Iblis telah menunjukkan kepadaku bahwa pengetahuan yang begitu jelas serta kedudukan yang begitu dekatnya dengan Tuhan, alih-alih menjadikannya semakin taat kepada Tuhan, justeru malah membuatnya menjadi sombong dan serakah hingga akhirnya menyeretnya tergelincir bahkan terjatuh dalam jurang kesasatan dan kenistaan.

Dalam contoh di atas, Iblis pada hakikatnya tunduk secara akal dan tunduk secara fisik dihadapan kekuasaan Tuhan. Namun ketertundukan itu tidak sampai merasuk kedalam hati dan kesadarannya. Meskipun dengan akalnya ia mengetahui dengan pasti bahwa Tuhan adalah Dzat yang layak disembah dan berkuasa atas segala sesuatu, namun karena hatinya tidak tunduk, maka iapun pada akhirnya berontak.
Entah seberapa sering aku melakukan pemberontakan seperti yang dilakukan iblis meskipun dengan cara yang sangat halus.  Aku tahu bahwa hanya Tuhan yang layak disembah dan segala perintah-NYA adalah wajib, demikian pula segala larangan-NYA adalah haram. Namun, rasanya sering sekali-bahkan dengan sadar-aku melalaikan dan meremehkan semua itu sambil berucap dalam hati bahwa ‘aku lebih baik dari Iblis sang pembangkang yang terkutuk. Aku adalah manusia yang kepadanya Tuhan memerintahkan Iblis untuk bersujud’.  


Adalah sebuah ironi yang menggelitik jika anda mengutuk iblis, sementara anda sendiri berperilaku seperti iblis”. (R-win)