PERKEMBANGAN PARADIGMA, IDEOLOGI DAN PERADABAN MANUSIA
Ada pendapat yang mengatakan bahwa saat ini perkembangan paradigm manusia telah memasuki fase Pasca Modern atau yang secara umum dikenal dengan Istilah postmodernisme. Menurut beberapa pendapat, sebelumnya peradaban manusia telah melewati paling tidak dua fase perkembangan paradigma, yaitu fase Tradisional dan fase Modern.
Pada
fase tradisional, pada umumnya manusia hidup dalam kondisi sederhana
yang penuh “keluguan” dengan mengandalkan intiusi dan memanfaatkan alam
hanya sebatas kebutuhan mereka, sehingga mereka belum mengenal
eksploitasi alam secara besar-besaran. Pada masa tardisonal, kepercayaan
manusia terhadap agama dan hal-hal supranatural, mistik mapun tahayul,
tumbuh subur secara dogmatis. Berfikir rasional dan kritis—pada hal-hal
tertentu—dalam masyakat pada umumnya, justeru dianggap tabu, kecuali
dikalangan ekslusif intelektual yang pada masa itu lebih dikenal sebagai
filosof.
.............
Seiring dengan gerakan Humanisme di Italia yang diikuti dengan lahirnya Rennaisance yang dicetuskan antara lain oleh Rane Descarte, maka manusia mulai memasuki era baru peradabannya, yaitu era Modernism.
Pada fase ini, manusia mulai mencoba keluar dari dogma agama dan
kebuntuan pengetahuan menuju pengetahuan yang berbasis rasional yang
diyakini mampu menepis hal-hal metafisis dan taransendental yang
dianggap irasional dan subjektif. Pada masa ini, salah satu isu
filosofis yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap pembentukan paradigm dan ideology masyarakat (baca: manusia) penganut modernisme, adalah kesimpulan bahwa “kekuasaan Tuhan” harus diganti dengan “kekuasaan Manusia”, sebagai kesimpulan dari retorika kaum Humanisme
yang menyatakan bahwa manusia adalah subjek yang mandiri/otonom dan
memiliki kesadaran sempurna yang mampu melampaui dirinya dan
lingkungannya, sehingga harus dijadikan sebagai pusat/subjek utama alam
semesta. Bahkan untuk mendramatisir retorika tersebut, dibuatlah slogan
yang terkenal “Tuhan Telah Mati”. Dalam perkembangannya, manusia
benar-benar mampu menunjukkan kebesaran potensi yang dimilikinya yang
dibuktikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam
waktu relative cepat. Memahami bahwa manusia sebagai pusat dan
“penguasa” alam semesta, ditunjang dengan hasil perkembangan pengetahuan
dan tehnologi, sangat mungkin bagi manusia untuk mulai menjadikan
gerakan eksplorasi dan eksploitasi alam sebagai agenda utama mereka yang
berujung pada pengrusakan dan penindasan.
Hasil pemikiran yang dibangun atas dasar filsafat modernisme,
secara fantastis merasuk kedalam budaya dan hampir semua aspek
kehidupan manusia pada masanya, mulai dari seni, sastra, arsitektur,
gaya hidup, politik, bahkan norma etika dan nilai positif yang dianggap
universal. Singkat kata, fase modernisme mengantarkan manusia pada sebuah dunia yang benar-benar baru, yaitu dunia dimana potensi manusia dianggap tidak memiliki batas.
..............
Pada dekade berikutnya, perkembangan ilmu dibidang filsafat dan sosiologi mulai melahirkan suatu paradigm baru yang merupakan antitesa dari paradigm modern yang kemudian dikenal dengan istilah postmodenisme. Paradigm postmodernisme lahir sebagai kritik dan tanggapan dengan mengajukan hipotesis bahwa modernisme
telah gagal dalam menjawab berbagai permasalahan baru yang timbul,
antara lain; masalah eksploitasi lingkungan, kesenjangan sosial, hukum
dan ketimpangan pada beberapa aspek kehidupan lainnya. Kritikan
fundamental yang dilakukan oleh paradigm postmodernisme, adalah dengan mencoba menumbangkan filsafat modernisme yang menganut paham “Kesatuan Ontologis” atau Objektivitas Ontologis. Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis yang merupakan salah satu peletak dasar filsafat postmodenisme,
mengatakan bahwa konsep “Kesatuan Ontologis”, sudah tidak relevan lagi
dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Kekuasaan
telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena
itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip
paralogi yang berarti penerimaan terhadap keberagaman realitas, unsur,
nilai dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau
menguasai.
Akibat dari paradigm--khususnya landasan filsafat--yang menjadi penopang paham postmodernisme, maka lahirlah isme-isme baru yang menggiring manusia kembali kejaman kejayaan sophisme yang meragukan segala sesuatu, seperti nihilism, subjektivisme dan relativisme mutlak. Pahaman bahwa tidak ada yang objektif, akan melahirkan doktrinnihilism
yang berujung pada runtuhnya bangunan ilmu pengetahuan, filsafat dan
metafisika yang pada akhirnya berarti menyerang agama sebagai landasan
etika dan moral manusia.
Paradigm postmodernisme
saat ini mulai mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat. Isu
emansipasi, tuntutan kebebasan perpendapat dan berekspresi bebas tanpa
harus dibatasi, adalah wujud dari pahaman subjektivisme dan relativisme
yang berpotensi besar menciptakan “kerusakan” moral dan sistem sosial
secara fundamental. Penolakan kebenaran objektif yang tunggal, akan
melahirkan persepsi logis bahwa tidak ada kebenaran mutlak (kecuali
premis itu sendiri).
Disadari atau tidak, banyak diantara hasil pemikiran postmodernisme
yang negative, telah merasuk kedalam sendi-sendi agama dan pemikiran
politik di negeri ini bahkan mungkin—secara parsial—mempengaruhi
pandangan dunia manusia secara individu. Perlu disadari bahwa paradigm
seseorang atau suatu masyarakat akan menentukan ideology-nya dan
ideology tersebut akan terefleksikan melalui kehidupan praktisnya.
Dengan mengubur parameter Objektivitas pengetahuan, berarti mengingkari
adanya kebenaran objektif yang akan menggirng penganutnya menjadi
seorang sophist yang skeptis terhadap kebenaran.
Dampak yang paling menghawatirkan dalam kehidupuan sosial adalah ketika
prinsip dasar dan landasan etika dan moral universal (hak asasi manusia)
yang dianggap mampu melindungi dan mengatur hak-hak individu dan menata
kehidupan sosial, ditafsirkan secara subjektif berdasarkan persepsi
masing-masing subjek yang berkepentingan. Bayangkan jika seorang
menentukan atau menafsirkan etika dan hukum berdasarkan subjektivitasnya
masing-masing?!.
Sebenarnya, secara definisi maupun konseptual, paham postmodernisme penuh kontroversial dan syarat dengan ambigu dan absurditas, namun kembali lagi, bahwa dalam pahaman postmodernisme
sendiri, ambigu dan absuditas itu pun adalah relatif. Terlepas dari itu
semua, paham ini telah menjadi salah satu alternatif paradigma bagi
manusia saat ini, bahkan sebagaimana telah diuraikan di atas, paradigma
ini tidak saja telah mendapat tempat di tengah-tengah manusia modern,
namun juga mulai merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan vital sosial
masyarakat maupun ideologi individu.
...................
Saya
percaya bahwa meskipun mungkin peradaban Manusia terus berkembang dan
mengalami peralihan fase atau era tertentu, namun pasti ada suatu paradigm atau pandangan dunia yang bersifat perennial dan tidak berubah seiring dengan perubahan fase peradaban manusia. Paradigma
yang saya maksud disini bukanlah dalam bentuk ideology agama yang pada
tataran tertentunya berisi doktrin dan dogma dalam otoritas kitab suci.
Namun paradigm yang dimaksud di sini adalah sebuah kerangka berfikir atau hukum akal (epistemology)
yang bersifat universal yang dapat menjadi landasan dalam memahami
realitas kehidupan ini dalam kerangka objektivitas. Kerangka inilah yang
sekiranya dapat menuntun kita untuk menemukan suatu ideology yang benar
dan objektif yang terbukti melalui argumentasi, realitas objektif dan
teruji oleh tantangan jaman dan perubahan peradaban.
...................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar