Jumat, 21 Oktober 2011

KRITIK PRINSIP KAUSALITAS

Selama ini sungguh kupikir aku telah melalui dan memecahkan salah satu teka-teki yang paling misterius mengenai ontology, yaitu teka-teki tentang “keberadaan sejati” yang oleh sebagian filosof dan teolog dinisbahkan sebagai Tuhan. Argumentasi filosofis yang murni menggunakan dalil akal, membawaku pada kesimpulan bahwa Tuhan itu mutlak ada melalui alur dan kerangka pikir kausalitas. Dengan membuktikan kemustahilan adanya akibat tanpa sebab dan kejadian-kejadian “kebetulan”, serta kemustahilan terjalinnya rentetan sebab-akibat yang tidak berujung (tasalsul) sehingga rentetan sebab-akibat tersebut harus berujung pada sebab yang tanpa penyebab (Kausa Prima), maka tanpa kusadari, daya kritis yang kumiliki telah kueksekusi mati dengan memastikan bahwa Kausa Prima itulah Tuhan tanpa melalui penalaran yang lebih jauh dan mendalam.

Sesaat setelah kuteliti kembali argumentasi tersebut, ketemukan beberapa kerancuan yang fatal mengenai validitas dan kebenaran argumentasi Kausa Prima …….

Dalam Hukum Kausalitas ditegaskan bahwa segala sesuatu pastilah memiliki penyebab, dimana penyebab tersebut—yang juga merupakan sesuatu--tentunya membutuhkan penyebab sebelumnya untuk bisa ada/eksist. Agar proses sebab-akibat ini dapat terjadi, maka kita harus menerima bahwa pasti ada penyebab yang tidak membutuhkan penyebab sebelumnya untuk memulai prosesnya, karena--dalam proses demikian--, tanpa adanya sebab yang tanpa penyebab, maka kita tahu dengan pasti bahwa mustahil proses tersebut akan terjadi dan konsekwensinya adalah kita harus mengingkari keberadaan dunia ini yang nota bene adalah merupakan kumpulan akibat atau entitas “sesuatu”.

Argumentasi di atas kelihatan sangat mengagumkan, namun sayangnya (menurut pemahamanku) terdapat kelemahan yang serius dalam kerangka dan alur pikirnya. Beberapa kelemahan tersebut yaitu:

1. Kesimpulan tersebut mengandung kontradiksi terselubung, yaitu ketika kita mengakui bahwa segala sesuatu pasti memiliki penyebab, maka bagaimana mungkin pada saat yang sama kita juga mengakui bahwa ada sesuatu (sebab) yang tidak membutuhkan penyebab (yaitu sebab pertama). Argumentasi tersebut—meskipun tidak terlalu tampak—merupakan bentuk kesimpulan yang mengingkari premis (inkonsistensi premis), dan hal itu tentunya mencederai kerangka logika dan prinsip akal sehat (fallacy/sesat pikir).
Telah aku coba untuk mempertahankan argumentasi Kausa Prima tersebut dengan mengubah premis awal hukum kausalitas menjadi premis yang berbunyi “setiap akibat pasti memiliki sebab”, yaitu mengganti premis “segala sesuatu” menjadi “setiap akibat”, sehingga dengan demikian maka premis “segala sesuatu” yang juga bermakna “semuanya”, digantikan dengan entitas “akibat-akibat” yang secara eksplisit dapat berarti “tidak semua” (karena hanya meliputi akibat saja). Penggantian premis tersebut secara sepintas dapat menyelamatkan argumentasi itu dari kesan inkonsistensi premis. Namun, kalau diteliti dengan seksama, premis tersebut malah menjadi semakin rancu. Kerancuannya adalah; pertama, premis “akibat”, merupakan predikat yang melekat kepada “sesuatu”, jadi mengganti premis “segala sesuatu” menjadi “setiap akibat”, sebenarnya memiliki makna yang identik, yaitu bahwa setiap akibat atau setiap sesuatu, pasti memiliki penyebab. Kerancuan kedua adalah hukum kausalitas merupakan hukum atau kaidah akal yang hendak menegaskan bahwa setiap yang ada pasti berasal dari suatu sebab, dimana sebab tersebut—karena juga merupakan sesuatu yang pasti ada—maka pasti berasal juga dari sebab sebelumnya yang juga pasti ada. Jadi, terlepas dari apakah rentetan sebab-akibat tersebut akan berujung atau tidak, yang pasti adalah argumentasi kausalitas ingin menegaskan bahwa setiap sesuatu yang ada, pasti memerlukan kepada penyebab sebelumnya.
Premis “setiap akibat memerlukan sebab”, sesungguhnya hanya merupakan penegasan terhadap definisi akibat (akibat pasti terlahir dari sebab) yang dalam pengertian ini, tidak menegaskan makna hakiki dan tujuan hukum kausalitas itu sendiri yang hendak menegaskan bahwa “segala sesuatu yang ada memerlukan kepada penyebab”, atau secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa “mustahil sesuatu ada tanpa disebabkan oleh penyebab sebelumnya”.

2. Kesimpulan mengenai pengecualian adanya penyebab bagi sebab pertama, sebenarnya diperoleh dari metode pembuktian argumentasi tidak langsung (dialektika), yaitu dengan membuktikan kemustahilan terjadinya rentetan sebab-akibat yang tanpa ujung, maka kita dapat menegaskan bahwa argumentasi kontarnya yang benar, bahwa rentetan sebab-akibat tersebut harus berakhir pada sebab yang tidak memerlukan penyebab (kausa prima). Dalam ilmu logika, pengambilan kesimpulan melalui metode argumentasi tidak langsung sebagaimana di atas, adalah sah dan dapat diterima sebagai suatu kesimpulan yang bernilai valid selama memenuhi kaidah dan syarat logisnya, namun dalam kasus ini, perlu dicermati bahwa jika kita menghubungkan kedua kesimpulan di atas yaitu “segala sesuatu pasti memiliki sebab” dengan kesimpulan “adanya sebab/sesuatu yang tidak memiliki sebab”, maka jelas keduanya mengandung kontradiksi (inkonsistensi), dan dengan ilmu logika yang sama, memegang dua hal yang bertentangan sebagai kebenaran, adalah hal yang jelas keliru.

3. Salah satu bentuk argumentasi lainnya yang mungkin dapat digunakan untuk membela hukum kausalitas, adalah dengan mengasumsikan adanya “Pengecualian” yang mengecualikan berlakunya hukum kausalitas tersebut bagi Sebab Pertama, yaitu dengan mengasumsikan bahwa Sebab Pertama itu bukanlah merupakan “sesuatu” sehingga tidak termasuk atau berada diluar ojek hukum kausalitas. Argumentasi ini, malah mengandung kerancuan yang jauh lebih parah dan lebih rumit dibandingkan dengan kerancuan argumentasi sebelumnya. Dengan mengasumsikan bahwa Sebab Pertama bukanlah “sesuatu”, atau merupakan sesuatu diluar objek hukum kausalitas, maka kesimpulan tersebut menjadi semakin tidak jelas kebenarannya atau malah memerlukan pembuktian baru yang jauh lebih rumit. Ada banyak contoh argumentasi yang sederhana yang dapat menjebak kita pada kondtradiksi (inkonsistensi) dasar yakni memperkenankan jawaban yang dikehendaki menjadi suatu kekecualian tanpa dasar yang jelas, misalnya pada premis berikut;

“Tidak ada yang terus menerus ada. Pastilah Tuhan yang mengawalinya”
(jika demikian maka pastilah ada yang terus menerus ada, yaitu Tuhan). ;)

4. Anggaplah bahwa Sebab Pertama itu ada dan benar adanya, namun permasalahan berikutnya adalah, bagaimana Sebab Pertama itu bisa diidentikkan sebagai Tuhan atau apa yang menjadi landasan kemestian adanya kolerasi antara Sebab Pertama dengan Tuhan?

Akhirnya, saya jadi ingat kata-kata seorang bijak (lupa namanya) yang mengatakan bahwa “Tuhannya para philosof adalah Tuhan yang terdefinisi, sedangkan Tuhan-nya kaum arif (ahli makrifat) adalah Tuhan yang tersaksikan. (pliz…. Jangan ditanya apa hubungan antara kata-kata orang bijak tersebut dengan kerancuan hukum kausalitas ……… ;)).

2 komentar:

  1. Nih jawabannya Mas:

    Sebagian orang ketika ditanya apa bukti adanya tuhan, akan menjawab adanya kita dan adanya alam semesta menunjukkan adanya tuhan.

    kalau kita buat dalam bentuk silogisme maka jawaban di atas bisa kita rangkai seperti ini.
    P1. segala sesuatu yang ada, ada penyebabnya
    P2. alam semesta ada
    K. alam semesta ada penyebabnya

    argumentasi seperti ini adalah argumentasi yang lemah. dengan premis global (P1) yang sama biasanya memunculkan pertanyaan yang mematikan, lalu siapa pencipta tuhan?

    kalau disusun ulang pertanyaannya jadinya seperti ini
    P1. segala sesuatu yang ada, ada penyebabnya
    P2. tuhan ada
    K. tuhan ada penyebabnya

    argumentasi di atas perlu direvisi sedikit agar menjadi argumentasi yang lebih powerfull.

    ketika kita mengindera alam semesta kita akan melihat bahwa segala sesuatu yang kita indera terbatas, salah satu ciri keterbatasannya adalah temporal. temporal ini bisa juga ditunjukkan dengan adanya awal. premis pertama di atas perlu dilengkapi dengan penjelasan ini.

    kalau kita susun ulang argumentasinya akan jadi seperti ini
    P1. segala sesuatu yang memiliki awal, ada penyebabnya
    P2. alam semesta ada awalnya
    K. alam semesta ada penyebabnya

    dengan susunan silogisme seperti ini tidak bisa muncul pertanyaan siapa pencipta tuhan karena tuhan yang menyebabkan alam semesta ini tidak memiliki awal. tuhan, by definition, haruslah azali (tidak berawal dan berakhir).

    kalau mau lihat video yang menjelaskan sedikit lebih panjang silakan liat http://www.youtube.com/watch?v=xP1Bx80U61g
    singkat cuma 8 menitan

    Sumber tulisan: https://www.facebook.com/notes/irfan-habibie-martanegara/resume-argumentasi-kalam-kosmologis-untuk-keberadaan-tuhan/10151209106917585

    BalasHapus
  2. CasinoTopTops Casino: Review, Bonus Codes & Slots
    CasinoTopTops Casino 홀덤 족보 reviews and ratings for 오락실 슬롯 머신 게임 2021 - 100% 쪽박 걸 up to €1000 welcome 슬롯 가입 쿠폰 bonus + 50 free spins! bet365 코리아

    BalasHapus