Rabu, 16 September 2009

Catatan Ringkas Epistemologi (Bagian 1)

Epistemologi secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua gabungan kata, yaitu “Episteme” yang artinya Pengetahuan dan “Logos” artinya Teori, sehingga epistemology dikenal sebagai Teori Ilmu Pengetahuan. Pembahasan epistemology adalah salah satu tema pembahasan dalam filsafat yang sangat penting dan sejarah perkembangan ilmu filsafat menunjukkan kepada kita bagaimana maraknya pembahasan epistemology dikalangan para filsuf sejak jaman dahulu kala, bahkan sampai saat ini, pembahasan epistemology tidak pernah sepi dari perdebatan.

Epistemologi secara garis besar membahas beberapa hal terkait dengan pengetahuan manusia. Terdapat beberapa pertanyaan yang coba dijawab dalam pembahasan ini, yakni: “apakah manusia memiliki potensi untuk mengetahui?”, jika ya, “apa sajakah alat yang dapat digunakan dalam memperoleh pengetahuan?”, “apa sajakah yang menjadi sumber pengetahuan manusia?” dan “bagaimana pengetahuan dapat hadir dalam diri manusia?”. Dalam catatan ringkas ini, kita akan mencoba mendiskusikan tiga pertanyaan di atas secara satu per satu, adapun mengenai pertanyaan ke empat akan dibahas pada catatan berikutnya, mengingat pembahasan tersebut sangat spesifik dan relatif rumit sehingga lebih baik dibahas pada catatan tersendiri.

Apakah manusia memiliki potensi untuk mengetahui?

Pembahasan ini sengaja ditempatkan pada bagian awal karena jika jawaban atas pertanyaan di atas negatif atau tidak ada potensi atau kemungkinan berpengatahuan bagi manusia, maka diskusi ini selesai sampai disini. Namun jika jawabannya postif atau manusia terbukti memiliki potensi untuk berpengetahuan, maka pembahasan akan berlanjut pada 3 pertanyaan berikutnya.

Sejarah filsafat khususnya berkaitan dengan permasalahan ini yakni kemungkinan atau potensi untuk memiliki pengetahuan bagi manusia, memperkenalkan kita kepada pemikiran kaum sophist yang mulai berkembang pada sekitar abad ke-5 SM di Yunani. Kaum sophist lahir dan mempertanyakan realibilitas serta objektivitas ilmu dan pengetahuan. Salah satu tokoh kaum sophist yang terkenal, Protagoras, berpandangan bahwa "tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman”.

Menurut Protagoras, manusia dalam mempersepsi realitas akan bersandar pada pengalaman empiris dimana pengalaman empiris yang dimaksud, bersifat subjektif. Tidak ada suatu dasar atau sandaran terhadap objektivitas pengetahuan manusia. Dengan kata lain, segala pemahaman dan pengalaman seseorang bersifat subjektif karena tergantung pada pengalaman masing-masing manusia sebagai subjek yang memahami. Konsep ini menolak objektivitas pengetahuan dan itu berarti meruntuhkan dasar-dasar bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika sesuatu tergantung kepada subjektivitas manusia, maka kebenaran objektif tidak akan mungkin bisa dicapai dan hal itu pada hakikatnya mengingkari kemampuan atau potensi manusia dalam memahami sesuatu sebagaimana sesuatu itu sendiri.

Ketika ada dua orang menyaksikan satu objek yang sama misalnya sebuah meja dihadapan mereka dan salah satu diantara mereka mengatakan bahwa sesuatu itu adalah seekor keledai dan yang lainnya mengatakan bahwa itu adalah sebuah meja, maka tidak ada dari pendapat keduanya yang bisa dinilai lebih benar dari yang lain bahkan keduanya tidak boleh dipersalahkan karena tidak ada parameter objektif yang dapat digunakan dalam menilai pendapat mereka. Jika halnya demikian, maka itu sama saja keduanya tidak akan pernah mengetahui apa yang sesungguhnya ada dihadapan mereka (yakni sebuah meja) secara objektif dan pasti.

Selain Protagoras, Georgias, seorang sophist lainnya, berpendapat bahwa “tidak ada yang benar-benar ada, jika pun sesuatu itu ada, maka sesuatu itu tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, maka tidak akan dapat dikomunikasikan”. Menurut Georgias, tidak ada sesuatupun yang memiliki wujud atau benar-benar ada, kalaupun sesuatu itu ada, ia tidak akan mungkin bisa diketahui dan andai pun bisa diketahui, sesuatu itu tidak akan mungkin bisa dikomunikasikan. Konsep ini jauh lebih “parah” daripada konsep yang kemukakan oleh Protagoras karena menurut konsep ini, kita tidak akan mungkin bisa mengetahui sesuatu meskipun sesuatu itu tampak dihadapan kita.

Satu lagi seorang sophist yang mencoba mengingkari potensi berpengetahuan bagi manusia adalah Pyrho. Ia mengatakan, bahwa keragu-raguan adalah salah satu sifat dasar manusia. Manusia tidak akan mungkin bisa mengetahui sesuatu secara pasti dan akan terus berada dalam keraguan-keraguan. Menurut Pyrho, instrumen yang digunakan oleh manusia dalam mencoba memahami sesuatu atau berpengetahuan hanya dua, yakni indera dan rasio dimana kedua instrumen tersebut memiliki kelemahan sehingga tidak mungkin bisa dijadikan sandaran dalam memperoleh sebuah pengetahuan yang benar dan meyakinkan. Kita sering menyaksikan bagaimana alat indra seperti penglihatan, pendengaran, pera­sa, peraba dan penciuman, sering kali tertipu dan keliru dalam mempersepsi realiatas. Ketika saya melihat sesuatu dan ternyata penglihatan saya itu salah, maka saya tidak dapat mempercayai penglihatan saya tatkala penglihatan itu melihat sesuatu yang lain. begitu pula dengan rasio yang juga sering keliru dalam membuat sebuah kesimpulan. Karena kedua instrumen pengetahuan manusia tersebut memiliki kelemahan dan sangat sering keliru, maka keduanya tidak dapat dijadikan sebagai sandaran untuk memperoleh pengetahuan sejati.

Menerima argumentasi Phyrho ini, berarti menolak adanya kemungkinan berpengetahuan bagi manusia atau paling tidak menolak nilai pengetahuan yang dimiliki manusia.
Disini kita tidak akan membahas sejarah panjang perkembangan ide-ide dan perdebatan dengan kaum sophist atau memaparkan ide-ide bantahan dari para pemikir-pemikir jaman dulu secara detail, namun disini akan dipaparkan mengenai sebuah konsep bantahan yang merupakan resume hasil pemikiran para filosof yang berpandangan sebagai pendukung kemungkinan atau potensi berpengetahuan bagi manusia.

Beberapa sanggahan terhadap argumentasi kaum Sophist
Jika kita menyimak pernyataan Protagoras dengan teliti, maka akan kita temukan bahwa pernyataan tersebut mengandung kontradiksi terselubung atau mengandung inkonsistensi. Ketika ia mengatakan bahwa “Tidak ada pendapat yang lebih benar…..” maka pernyataan itu sebenarnya juga menghukumi dirinya sendiri, yakni jika tidak ada sesuatu pendapat yang lebih benar, maka berarti pernyataan itu sendiri juga tidak dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian kita dapat mengajukan pertanyaan kepada beliau “Jika tidak ada pendapat yang lebih benar daripada pendapat lainnya, bagaimana dengan pendapat anda itu sendiri? Jika ternyata pendapat anda juga tidak lebih benar daripada pendapat yang lain, maka bagaimana pendapat tersebut bisa dijadikan sandaran kebenaran?. Menerima pernyataan Protagoras di atas sebagai pengetahuan yang benar, berarti mengingkari makna pernyataan itu sendiri sebagaimana maklum.

Prinsipnya, setiap pernyataan yang bersifat justifikasi dapat kita temukan pernyataan kontranya yaitu pernyataan negatif yang berlawanan dengan pernyataan tersebut. Dalam argumentasi Protagoras di atas, dapat kita jabarkan bahwa apabila pernyataan tersebut keliru, maka secara otomatis pernyataan kontranya akan bernilai benar. Jika pernyataan “tidak ada pendapat yang lebih benar daripada pendapat lain” bernilai salah, maka pernyataan kontranya yaitu “ada pendapat yang bernilai benar”, secara otomatis bernilai benar, sedangkan jika pernyataan “tidak ada pendapat yang lebih benar daripada pendapat lain” bernilai benar, maka pernyataan tersebut justeru mengingkari dirinya sendiri.

Alur logika di atas, juga dapat digunakan dalam membantah argumentasi Georgias. Jika apa yang dikatakan oleh Georgias benar, maka itu berarti ia telah memahami suatu realitas. Jika ia berhasil memahami suatu realitas, maka ia tentunya harus bisa menerima bahwa sesuatu yang dipahaminya itu memiliki keberadaan, dengan demikian ia juga sekaligus berhasil membuktikan bahwa ternyata ia bisa menginformasikan pengetahuan tersebut kepada orang lain.

Jika apa yang dikatakan oleh Georgias salah, maka berarti pernyataan kontranya yang benar yaitu “ada sesuatu yang benar-benar wujud, ilmu tidak bersifat nisbi dan dengan demikian maka ilmu dapat diinformasikan”.

Adapun bantahan terhadap argumentasi Pyrho, dapat dilakukan dengan tehnik debat yang juga mirip dengan tehnik di atas. Kita harus memulai membantah argumentasi Pyrho dengan mengajukan pertanyaan kepadanya “apakah pernyataan bahwa manusia selalu dalam keadaan ragu-ragu, dapat diyakini kebenarannya?”. Jika jawaban atas pertanyaan tersebut positif atau “Ya” maka ternyata manusia tidak selalu dalam keadaan ragu-ragu, paling tidak, kita dapat yakin bahwa diri kita selalu dalam keadaan ragu-ragu. Sampai disini akan mulai tampak kelemahan argumentasi Pyrho yaitu dengan pernyataannya tersebut, ia telah menjebak dirinya sendiri dalam sebuah dilema logika yang ambigu. Jika kesimpulan bahwa “manusia selalu dalam keadaan ragu” adalah sebuah kesimpulan yang dapat diyakini kebenarannya, maka pernyataan tersebut mengandung kontradiksi terselubung dimana hal ini berarti bahwa manusia ternyata tidak selalu dalam keadaan ragu karena terdapat sebuah kesimpulan yang meyakinkan yaitu “bahwa manusia selalu ragu-ragu”. Sedangkan apabila pernyataan tersebut bernilai salah, maka berarti argumentasi Pyrho mutlak gugur tanpa perdebatan panjang.

Selanjutnya, mengenai penolakan Pyrho terhadap fungsi alat indra dan rasio dalam memperoleh kebenaran, adalah merupakan sebuah fallacy (sesat-pikir) dimana Pyrho telah melakukan over generalisasi dalam menyimpulkan bahwa alat indra tidak bisa memperoleh kebenaran hanya karena dalam beberapa kasus, alat indra bisa keliru dalam mempersepsi realitas. Argumentasi Pyrho ini sama saja ketika mengatakan bahwa alat reproduksi manusia tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya hanya karena melihat beberapa kasus tidak berfungsinya alat reproduksi pada beberapa orang tertentu. Adalah benar bahwa alat indra dan rasio terkadang keliru dalam memahami sesuatu, namun hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi dalam melakukan generalisasi bahwa alat indra dan rasio secara keseluruhan tidak akan dapat dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan yang bernilai benar. Buktinya, Ketika kita mengetahui bahwa mata kita tertipu atau keliru, misalnya ketika mata kita menangkap gambar terdapat genangan air di atas permukaan jalan dan kita tahu bahwa itu bukan genangan air sungguhan melainkan suatu fatamorgana, maka ini menunjukkan bahwa dengan alat indra yang sama, ternyata kita dapat menemukan sebuah kebenaran yaitu bahwa alat indra kita keliru. Singkatnya, dengan membuktikan bahwa alat indera kita bisa saja tertipu, maka itu berarti kita telah sampai dan menemukan sebuah kebenaran dengan menggunakan alat indra.

Begitu pula dengan kemungkinan kelirunya akal/rasio yang dijadikan dasar kesimpulan bahwa akal tidak mungkin bisa memperoleh kesimpulan yang benar. Pemahaman atau kesimpulan tersebut memiliki dua kemungkinan nilai yakni “benar” atau “salah”. Apabila kesimpulan tersebut bernilai “Benar”, maka kembali lagi bahwa kesimpulan tersebut mengandung kontradiksi terselubung yaitu dengan benarnya kesimpulan tersebut, berarti kita telah memperoleh kebenaran yang meyakinkan dengan menggunakan akal, sedangkan jika bernilai “Salah”, maka itu berarti argumentasi Pyrho mutlak gugur.

Sebenarnya secara akal sehat, kita tidak mungkin bisa mengingkari bahwa kita memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan yang bernilai benar secara objektif, paling tidak kita tahu dan sadar akan keberadaan diri kita sendiri dan ini adalah salah satu bentuk pengetahuan. Adapun argumentasi kaum sophist, banyak mengandung pernyataan sesat-fikir (fallacy) yang bisa menjebak baik pemikirnya sendiri maupun orang lain yang mendengarnya, sehingga perlu untuk dicermati dan diteliti dengan seksama.

Apa sajakah alat yang digunakan untuk memperoleh Pengetahuan?

Setelah kita membuktikan dan meyakini bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dengan menolak beberapa argumentasi yang mendukung kemustahilan berpengetahuan bagi manusia oleh kaum sophist, maka selanjutnya kita akan mengkaji mengenai alat-alat apa saja yang bisa digunakan manusia untuk memperoleh pengetahuan.

Indera Sebagai Alat Epistemologi
Manusia memiliki panca indera berupa mata yang berfungsi sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengaran, hidung sebagai alat pembau, lidah sebagai alat pengecap (manis, pahit, pedas dll) dan kulit sebagai alat peraba. Setiap alat indera tersebut, dapat melahirkan pengetahuan sesuai dengan peranan dan fungsinya masing-masing. Mata akan melahirkan pengetahuan berupa gambaran realitas yang diperoleh melalui hasil penangkapan objek penglihatan, begitu pula telinga dan alat indera yang lain. ketika misalnya mata melihat sebuah objek katankanlah sebuah buku, maka gambaran buku tersebut, akan hadir dalam akal subjek yang melihat, atau telinga mendengar sebuah bunyi, maka hadirlah dalam akal orang tersebut pengetahuan tentang bunyi yang didengarnya.

Pengetahuan yang diperoleh seseorang dengan panca inderanya, akan sangat tergantung pada kesempurnaan panca yang dimilikinya serta kondisi yang mempengaruhi hubungan antara objek dengan alat indera yang dimiliki oleh subjek. Semakin baik alat indera seseorang serta didukung dengan kondisi yang baik pula, maka semakin sempurna gambaran/pengetahuan yang diperoleh oleh orang tersebut.

Alat indera, layaknya sebuah kamera atau alat perekam yang hanya dapat menangkap gambaran dari objek-objek inderawi dan merubahnya menjadi konsepsi-konsepsi sederhana. Konsepsi tersebut bersifat parsial atau bersifat individu (satu-satu). Dengan indera, kita tidak dapat melakukan penyimpulan-penyimpulan yang bersifat universal atau umum. Selain itu gambaran tersebut tidak dapat dinilai benar atau salah oleh alat indera itu sendiri karena alat indera tidak mungkin mengingkari dirinya sendiri. Oleh karena itu untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara suatu objek dengan objek lainnya serta melakukan penilaian benar atau salah terhadap sebuah konsepsi, masih diperlukan alat lain selain panca indera.

Rasio Sebagai Alat Epistemologi
Selain indera sebagai alat epistemology, ternyata untuk memperoleh pengetahuan secara sempurna, manusia masih membutuhkan bantuan alat yang lain, yaitu alat epistemology yang menunjang fungsi alat indera, antara lain dalam hal menemukan hubungan-hubungan diantara objek-objek inderawi, menarik kesimpulan-kesimpulan umum dan universal, dan yang paling penting adalah sebagai alat ukur dalam melakukan pemilahan tentang mana konsepsi yang benar dan mana yang salah.

Alat dimaksud adalah Rasio, atau kekuatan nalar. Meskipun rasio merupakan alat epistemology yang banyak mengambil prinsip-prinsip pengetahuan dari indera, namun rasio sendiri, memiliki prinsip-prinsip yang betul-betul murni berasal dari aktivitas rasio itu sendiri atau tidak diambil dari indera sama sekali.

Jika alat indera hanya dapat menangkap gambaran objek inderawi secara parsial dan partikular, berbeda halnya dengan rasio. Rasio mampu melakukan pengelompokkan dan pembagian terhadap konsep-konsep yang diperoleh oleh indera sehingga melahirkan kesimpulan umum dan universal. Rasio mampu mengindetifikasi kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang diperoleh indera bahkan mampu menghasilkan konsep-konsep baru yang sama sekali diluar objek inderawi (tidak dapat dijangkau indera).

Gambaran-gambaran yang diperoleh indera seperti gunung, pohon, kuda, dll, dapat segera dikelompokkan oleh rasio kedalam genusnya masing-masing dengan melakukan identifikasi terhadap perbedaan dan persamaan yang dimiliki masing-masing gambaran tersebut. selain itu rasio juga mampu untuk menangkap hubungan yang terjadi diantara objek-objek inderawi dengan mengamati fenomena-fenomena yang terjadi.

Pengetahuan manusia tidak diperoleh semata-mata melalui indera, melainkan dengan bantuan rasio atau kekuatan rasio yang dimilikinya. Ada sangat banyak konsep-konsep pengetahuan manusia yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh alat indera, sehingga jelaslah bahwa pengetahuan tersebut hadir dengan menggunakan alat selain alat indera yaitu rasio (kecuali ada alat epistemology lainnya).

Perlu diketahui bahwa dalam pembahasan mengenai alat-alat epistemology, sebagian filosof memahami bahwa satu-satunya alat epistemology hanyalah indra (seperti Hume, Hobbes dan John Locke) sedangkan sebagian yang lain memahami sebaliknya, yakni hanya rasio yang merupakan satu-satunya alat epistemology (seperti Rane Descartes dan Plato). Namun pada catatan ini, penulis memasukkan keduanya (indra dan rasio) sebagai alat epistemology karena sebagaimana yang penulis pahamai, keduanya tidak dapat disangkal sebagai alat epistemology.

Ada sebagian filosof justeru memasukkan hati (pensucian hati) sebagai salah satu alat epistemology bahkan Bergson seorang filsuf barat terkenal, memahami bahwa satu-satunya alat epistemology bagi manusia adalah hati sehingga ia menolak peranan indra dan rasio. Pembahasan mengenai hati sebagai alat epistemology, sebenarnya lebih rinci dan sangat khas dibahas dalam pembahasan yang terkait dengan gnostik. Dalam catatan ini sengaja tidak dibahas secara panjang lebar menganai hati sebagai alat epistemology dengan beberapa pertimbangan diantaranya karena hal tersebut lebih cenderung bersifat gnostik dibanding murni pembahasan filsafat, namun jika anda tertarik, silahkan mencari literatur yang membahas hal tersebut.

Apa saja Sumber-Sumber Epistemologi?

Pada pembahasan ini kita akan mengkaji apa sajakah yang menjadi sumber epistemology atau sumber-sumber pengetahuan bagi manusia. Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan pembahasan sebelumnya yakni alat epistemology, dimana dengan mengetahui bahwa alat indra dan rasio sebagai alat epistemology, maka mesti ada sumber epistemology yang relevan dengan cara kerja dan fungsi kedua alat epistemology tersebut.

Alam Sebagai Sumber Epistemologi.
Yang dimaksud dengan alam pada catatan ini adalah alam semesta dimana kita hidup, yaitu alam materi yang terikat dalam ruang dan waktu. Dalam berinteraksi di alam materi ini, alat indra kita memegang peranan yang sangat penting, dimana indra kita berfungsi sebagai alat untuk menangkap atau menerima sensasi dari setiap aktivitas fisik yang dialami. Alam semesta ini memiliki bentuk, warna, permukaan, aroma dan rasa yang beraneka ragam dan semuanya itu merupakan bentuk dasar dari pengetahuan manusia. Sebagaimana pada pembahasan Indra sebagai alat epistemology di atas, dijelaskan bahwa semua sensasi yang diterima oleh indra di alam ini, akan hadir dalam diri/akal manusia dalam bentuk konsepsi atau pengetahuan. Ketika mata kita menangkap gambar sebuah meja, maka gambaran meja tersebut akan hadir dalam akal kita dan menjadi konsepsi kita. Konsepsi kita tersebut tidak lain adalah pengetahuan atau ilmu yang oleh sebagian filosof biasa disebut sebagai kualitas mental.
Dengan demikian, alam semesta yang merupakan objek-objek inderawi tentunya dapat diterima sebagai salah satu sumber epistemology.

Rasio/Akal sebagai Sumber Epistemologi.
Selain sebagai alat epistemology, ternyata rasio manusia juga dapat menjadi sumber epistemology. Sebagaimana pembahasan mengenai Rasio sebagai alat epistemology, dijelaskan bahwa rasio dengan aktivitasnya, dapat melahirkan konsep-konsep yang tidak dapat dijangkau oleh alat indera. Artinya, bahwa rasio manusia, dengan kemampuannya mengelola gambaran-gambaran objek yang diperoleh indera, ia juga mampu untuk melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang benar-benar diluar kemampuan tangkapan indera.

Kesimpulan-kesimpulan umum dan universal seperti genus yang diperoleh rasio melalui pengelompokan dan pembagian antara lain Tumbuhan, Manusia, Hewan dll, adalah jelas diluar jangkauan indera, karena indera hanya dapat menangkap gambaran-gambaran yang bersifat individu seperti Pohon ini, Kuda itu, Ahmad yang ini, Rumput yang itu dll. Indera tidak mapu mengindefikasi kesamaan atau perbedaan sesuatu yang ditangkapnya, melainkan hanya merupakan alat penangkap objek dengan kekhususan objek yang ditangkapnya sedangkan rasio memiliki kemampuan itu. Contoh konsep atau pengetahuan lain yang lebih khusus yang merupakan hasil kesimpulan rasio dan dikategorikan sebagai konsep dasar berfikir dan bersifat aksiomatis, adalah kesimpulan-kesimpulan seperti: “satu adalah setengah dari dua”, “dua hal yang bertentang mustahil keduanya benar”, “setiap akibat pasti memiliki sebab” dll. Semua konsep di atas, tidak mungkin diperoleh secara langsung melalui alat indera.

Disini perlu digaris bawahi bahwa meskipun rasio dapat melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat aksioma dan pengetahuan-pengetahuan diluar kemampuan indera, namun untuk sampai pada pengetahuan tersebut, rasio tetap membutuhkan bantuan alat indera sebagai alat untuk memperoleh konsep-konsep sederhana. Untuk melahirkan konsep-konsep umum, rasio seseorang pasti membutuhkan konsep-konsep sederhana yang bersifat partikular/khusus yang diperoleh melalui indera. Konsep umum seperti Manusia, Tumbuhan atau Hewan, memerlukan konsep-konsep partikular/individu terlebih dahulu seperti Pohon ini, Rumput ini, Ahmad yang ini, Kuda yang itu dll, yang kemudian konsep-konsep inderawi tersebut dikelola rasio melalui aktivitas pengelompokkan dan pembagian, sehingga mampu melahirkan kesimpulan yang bersifat umum. Begitu pula, sebelum melahirkan kesimpulan “satu adalah setengah dari dua”, rasio tentunya terlebih dahulu memerlukan konsepsi tentang “satu”, “setengah” dan “dua”. Pembahasan ini akan dibahas lebih rinci pada catatan epistemology berikutnya.

Sebenarnya ada beberapa filosof yang menambahkan sumber-sumber epistemology selain daripada alam semesta dan rasio. Mereka menambahkan “Hati” dan “Sejarah” sebagai sumber epistemology lainnya. Jika anda tertarik dengan pembahasan tersebut, secara detail anda dapat menemukannya dalam buku-buku filsafat yang membahas epistemology, salah satunya adalah buku karya Murtadha Muthahari yang berjudul “Mengenal Epistemologi”.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar